Jakarta, Reformasi.co.id – Upaya delapan terpidana dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Vina dan Eki di Cirebon untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) resmi ditolak. Permohonan PK tersebut terbagi dalam tiga perkara berbeda.
Perkara pertama terdaftar dengan nomor 198/PK/PID/2024, diajukan oleh Rifaldy Aditya Wardhana alias Ucil bin Asep Kusnadi dan Eko Ramadhani alias Koplak bin Kosim.
Perkara kedua, dengan nomor 199/PK/PID/2024, diajukan oleh lima terpidana, yaitu Hadi Saputra alias Bolang bin Kasana, Eka Sandy alias Tiwul bin Muran, Jaya alias Kliwon bin Sabdul, Supriyanto alias Kasdul bin Sutiadi, dan Sudirman bin Suranto.
Adapun perkara terakhir, dengan nomor 1688 PK/PID.SUS/2024, diajukan oleh seorang mantan narapidana anak bernama Saka Tatal, yang telah menyelesaikan masa hukumannya namun mengajukan PK untuk membersihkan namanya.
Juru Bicara MA, Yanto, menjelaskan bahwa alasan penolakan PK ini adalah tidak adanya kekhilafan hakim (judex facti) maupun kekeliruan dalam penerapan hukum (judex juris) dalam perkara sebelumnya.
Selain itu, bukti baru atau novum yang diajukan para pemohon PK tidak memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Majelis hakim yang memutus perkara Rifaldy dan Eko dipimpin oleh Burhan Dahlan, dengan dua anggota hakim lainnya, Yohanes Priyana dan Sigid Triyono. Sementara itu, PK yang diajukan oleh lima terpidana lainnya juga diadili oleh Burhan Dahlan bersama Jupriyadi dan Sigid Triyono. Dalam putusannya, MA tetap mempertahankan hukuman penjara seumur hidup untuk ketujuh terpidana.
Untuk Saka Tatal, meskipun telah menyelesaikan hukuman delapan tahun penjara, permohonan PK-nya untuk membersihkan nama tetap ditolak oleh MA.
Kuasa hukum para terpidana, Jutek Bongso, menyatakan kekecewaannya terhadap putusan MA. Ia menilai keputusan tersebut mencerminkan lemahnya sistem hukum di Indonesia. Menurut Jutek, fakta-fakta persidangan, termasuk bukti baru dan kesaksian yang diajukan selama proses PK, tidak dipertimbangkan secara komprehensif oleh majelis hakim.
“Ini bukan kiamat, tetapi tragedi hukum di Indonesia. Kami menghadirkan fakta-fakta yang belum pernah diungkap sebelumnya, namun tidak dianggap sebagai novum,” ujar Jutek.
Ia merinci tiga bukti yang menurutnya sangat penting, yakni hasil ekstraksi ponsel milik saksi yang menunjukkan percakapan pada waktu kejadian, kesaksian yang menyebut korban mengalami kecelakaan, dan tidak adanya bukti visum atau luka tusuk yang memastikan korban dibunuh.
Calon Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, turut menyayangkan penolakan PK oleh MA. Ia menilai keputusan tersebut mengecewakan keluarga para terpidana dan para pendukung yang menginginkan keadilan.
“Kami mendengar kabar duka ini sebagai pukulan bagi perjuangan mencari kebenaran. Namun, kita tidak boleh menyerah. Masih ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh,” ujar Dedi.
Dedi menyebut langkah-langkah seperti pengajuan PK lanjutan, grasi, abolisi, atau amnesti sebagai opsi yang masih terbuka untuk membuktikan bahwa para terpidana tidak bersalah.
Kasus ini bermula pada Sabtu malam, 27 Agustus 2016, ketika jasad Vina dan Eki ditemukan tergeletak di Jembatan Talun, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon. Awalnya, keduanya diduga mengalami kecelakaan tunggal saat berboncengan dengan sepeda motor. Namun, hasil penyelidikan mengarahkan dugaan pada kasus pembunuhan berencana.
Vina sempat dilarikan ke RSUD Kota Cirebon dalam kondisi kritis sebelum akhirnya meninggal dunia. Eki, yang merupakan anak seorang anggota kepolisian, ditemukan sudah tak bernyawa di lokasi kejadian.
Meski berbagai upaya hukum telah ditempuh, termasuk PK, MA memutuskan bahwa tidak ada dasar hukum yang cukup untuk mengubah putusan sebelumnya.