Jakarta, Reformasi.co.id – Indonesia berada di wilayah yang sangat rawan gempa. Negara ini terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dalam jalur Cincin Api Pasifik, yang kerap memicu gempa bumi dan potensi tsunami.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat rata-rata sekitar 6.000 kejadian gempa terjadi setiap tahun di Indonesia.
Sebagian besar gempa tersebut bersumber dari laut, sehingga berisiko tinggi menimbulkan tsunami, terutama bila berkekuatan besar dan terjadi di kedalaman dangkal.
Selama April 2025 saja, lebih dari 195 gempa tercatat mengguncang berbagai wilayah di Indonesia. Sebanyak 30 di antaranya berkekuatan di atas magnitudo 5,0, hanya dalam rentang waktu 3 Maret hingga 14 April 2025.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa tren aktivitas gempa di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam sebuah webinar, ia menekankan pentingnya kesiapsiagaan melalui mitigasi bencana geohidrometeorologi.
Tidak hanya gempa bumi dan tsunami, Indonesia kini juga menghadapi peningkatan bencana hidrometeorologi akibat dampak perubahan iklim.
Dwikorita mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki 14 segmen sumber gempa megathrust dan 402 segmen sesar aktif yang telah teridentifikasi. Masih banyak lagi potensi gempa yang belum diketahui secara pasti.
Data historis menunjukkan peningkatan signifikan jumlah kejadian gempa dalam beberapa dekade terakhir. Pada periode 1990โ2008, rata-rata hanya terjadi sekitar 2.254 gempa per tahun.
Namun pada 2009โ2017 melonjak menjadi 5.389 kejadian. Angka tersebut bahkan meroket di tahun 2018 dengan 12.062 gempa, dan 11.731 gempa pada 2019.
Tahun 2024 mencatat lonjakan besar dengan total 29.869 kejadian gempa, meski jumlah alat pemantauan tidak bertambah signifikan dibanding tahun sebelumnya. Sebanyak 20 gempa di antaranya tergolong merusak.
Dwikorita menyebut bahwa gempa dangkal menjadi jenis yang paling sering terjadi dan berpotensi merusak permukiman. Ia juga menyoroti fenomena sesar aktif di darat yang semakin banyak teridentifikasi.
Dalam pantauan BMKG, terdapat dua segmen megathrust yang menjadi perhatian serius karena belum melepaskan energi selama lebih dari dua abad. Kedua zona tersebut adalah Selat Sunda dan Mentawai-Siberut.
Segmen megathrust di Selat Sunda tercatat tidak aktif sejak tahun 1757, sementara di Mentawai-Siberut sejak 1797. Keduanya diperkirakan telah menyimpan energi dalam jumlah besar yang bisa dilepaskan sewaktu-waktu.
Sebagai perbandingan, Jepang telah mengalami pelepasan energi megathrust di wilayah Nankai setelah 78 tahun dan di Tohoku-Oki setelah 176 tahun. Megathrust Aceh-Andaman pun telah melepaskan energi pada 2004, setelah 97 tahun tidak aktif.
BMKG kini terus meningkatkan sistem deteksi dini dan pemantauan kegempaan, terutama di zona seismic gap atau wilayah yang sudah lama tidak mengalami gempa besar.
Dwikorita menyampaikan bahwa kekosongan aktivitas gempa di wilayah-wilayah ini justru menjadi pertanda adanya potensi gempa besar. Ia menegaskan bahwa Indonesia harus siap siaga menghadapi skenario terburuk.
Berdasarkan Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017, berikut daftar 13 segmen megathrust yang mengancam wilayah Indonesia:
- Mentawai-Pagai (M8,9)
- Enggano (M8,4)
- Selat Sunda (M8,7)
- Jawa BaratโJawa Tengah (M8,7)
- Jawa Timur (M8,7)
- Sumba (M8,5)
- AcehโAndaman (M9,2)
- NiasโSimelue (M8,7)
- Batu (M7,8)
- MentawaiโSiberut (M8,9)
- Sulawesi Utara (M8,5)
- Filipina (M8,2)
- Papua (M8,7)