Jakarta, Reformasi.co.id – Industri manufaktur menjadi sorotan utama bagi banyak pihak. Perannya yang semakin mengecil dalam perekonomian nasional akan membuat Indonesia sulit mencapai status negara maju dan menambah beban bagi masyarakat.
Dalam sebuah diskusi panel akhir pekan lalu, Ekonom INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini, menyampaikan bahwa pada masa kejayaan ekonomi nasional, sektor industri manufaktur juga ikut berkembang pesat. Pada tahun 1989, pertumbuhan industri manufaktur mencapai 19% dan terus meningkat hingga 25%.
“Sayangnya, dalam dekade terakhir, kontribusi sektor ini terus merosot. Bahkan di tahun 2023 hanya tumbuh 18%. Ini adalah salah satu titik terendah dibandingkan dengan capaian di era 1980-an, seolah-olah kita kembali mengalami deindustrialisasi dini,” jelasnya.
Pemerintahan Orde Baru sukses mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8-9%, kunci utamanya adalah pengembangan sektor manufaktur, bukan hilirisasi. Menurut Eisha, penelitian yang menunjukkan hilirisasi mampu mengubah perekonomian sebuah negara masih sangat terbatas. Sebaliknya, perubahan nyata terjadi melalui industrialisasi, khususnya di sektor manufaktur.
Saat ini, pertumbuhan industri di Indonesia belum mencapai tingkat pendapatan per kapita setara dengan negara maju. Di sisi lain, sektor jasa, terutama di bagian informal, semakin meningkat. Ini cukup mengkhawatirkan karena sektor ini rentan terhadap berbagai krisis.
Eisha juga menyoroti bahwa masalah utama industri nasional masih berkutat pada komoditas, bukan pada teknologi canggih. Produktivitas juga rendah, diperparah oleh persoalan tenaga kerja. Indonesia masih tertinggal dibandingkan China dan Jepang, dan daya saing tenaga kerja masih di bawah Thailand.
Indonesia tidak bisa terus bergantung pada sumber daya alam sebagai fondasi ekonomi di masa depan. Ketergantungan yang berlebihan pada SDA selama ini membuat industrialisasi semakin tertinggal, hingga muncul fenomena deindustrialisasi. Deindustrialisasi ini ditandai dengan semakin mengecilnya porsi industri manufaktur dalam produk domestik bruto (PDB).
Wijayanto Samirin, ekonom Universitas Paramadina, menyatakan bahwa pada era Orde Baru, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB rata-rata mencapai 25%, namun di era pemerintahan Presiden Jokowi, angka ini menyusut menjadi 18,7%.
“Pengalaman negara-negara besar seperti China, India, Inggris, Jepang, dan Amerika menunjukkan bahwa ekonomi mereka berkembang pesat karena ditopang oleh industrialisasi,” jelas Wijayanto.
Ia menekankan bahwa pemerintah mendatang idealnya harus lebih fokus pada kualitas pertumbuhan ekonomi, bukan semata-mata pada kecepatan. Tidak perlu menjadikan pertumbuhan 8% sebagai target utama, namun lebih penting untuk mendorong industrialisasi.
“Ini bisa dilakukan dengan mendukung pelaku industri manufaktur, karena mereka adalah pahlawan sesungguhnya. Kualitas perencanaan harus diperbaiki, jangan tergesa-gesa. Tragedi seperti IKN dan kereta cepat KCIC menjadi contoh nyata,” tegasnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi manufaktur Indonesia. Data S&P Global menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur di Indonesia mengalami penurunan dan terkontraksi menjadi 48,9 pada Agustus 2024. Ini menandakan bahwa Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia telah mengalami kontraksi selama dua bulan berturut-turut, setelah pada Juli berada di angka 49,3.
PMI terus memburuk selama lima bulan terakhir, turun dari 54,2 pada Maret 2024 hingga Agustus 2024.
“PMI kita yang masuk fase kontraksi perlu diwaspadai. Namun, kita berharap pertumbuhan impor sebesar 9% bisa mendorong kegiatan manufaktur,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Senin (23/9/2024).
Dia juga menambahkan bahwa penurunan PMI tercermin dari melemahnya permintaan listrik industri sebesar 2,9%. Selain itu, permintaan semen hanya tumbuh tipis, seiring dengan melambatnya kegiatan konstruksi.
“Kami berharap di kuartal terakhir akan ada akselerasi, terutama pada proyek konstruksi yang diharapkan meningkat,” tambahnya.
Tidak hanya Indonesia, beberapa negara Asia lainnya, serta zona Eropa dan AS juga mengalami kontraksi. China sedikit lebih baik, namun tetap mengalami penurunan.
“PMI sektor jasa masih berada di zona ekspansif. Ini mencerminkan bahwa perekonomian global sedang bertransformasi, di mana sektor jasa dan digital semakin dominan dan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian global,” tutup Sri Mulyani.