Washington, Reformasi.co.id – Pemerintah Amerika Serikat kini dihadapkan pada dilema hukum dan keamanan nasional dalam kasus TikTok vs Garland, yang dijadwalkan untuk disidangkan oleh Mahkamah Agung.
Kasus ini menyangkut upaya untuk memaksa ByteDance, perusahaan asal Tiongkok yang memiliki TikTok, menjual asetnya guna melindungi kepentingan nasional.
Kekhawatiran utama pemerintah AS adalah potensi Tiongkok memanfaatkan data dari 170 juta pengguna TikTok di Amerika untuk kepentingan spionase atau manipulasi opini publik.
Dalam konteks ini, pemerintah mengesahkan Undang-Undang “Protecting Americans from Foreign Adversary Controlled Applications Act,” yang melarang kepemilikan asing atas platform komunikasi besar demi melindungi infrastruktur informasi negara.
Namun, hukum ini memunculkan perdebatan konstitusional. Apakah hak Amandemen Pertama, yang melindungi kebebasan berbicara dan pers, harus tunduk pada ancaman keamanan nasional?
Kasus ini menjadi sangat penting karena menyangkut prinsip dasar bahwa pemerintah tidak boleh mengatur kepemilikan media tanpa alasan yang kuat.
Sejarah Pembatasan Kepemilikan Asing di AS
Prinsip melarang kontrol asing atas infrastruktur komunikasi bukan hal baru di AS. Sejak Radio Act 1912, undang-undang telah membatasi kepemilikan asing dalam sektor komunikasi.
Saat ini, hukum melarang pemerintah asing atau entitas yang dimiliki asing secara signifikan untuk mengendalikan siaran radio atau platform komunikasi penting lainnya.
Ketua Hakim Sri Srinivasan dari Pengadilan Banding, yang mendukung larangan terhadap TikTok, menegaskan bahwa langkah ini konsisten dengan sejarah panjang upaya pemerintah melindungi komunikasi nasional dari pengaruh asing. Menurutnya, kontrol Tiongkok atas TikTok menyerupai ancaman yang dihadapi selama Perang Dingin.
Peluang TikTok Menang
Para pakar hukum menilai TikTok memiliki peluang kecil untuk menang dalam kasus ini. Dukungan bipartisan terhadap undang-undang tersebut dan kesepakatan bulat dari hakim-hakim pengadilan rendah menunjukkan bahwa alasan keamanan nasional lebih kuat dibandingkan klaim kebebasan berbicara TikTok. Meski demikian, bagaimana Mahkamah Agung merumuskan keputusan mereka akan sangat penting.
Jika keputusan terlalu luas, hal ini dapat membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah dalam menentukan kepemilikan media. Sebaliknya, keputusan yang dirancang dengan baik dan spesifik hanya akan melarang kontrol asing terhadap platform besar tanpa mengubah prinsip dasar Amandemen Pertama.
Apabila larangan ini diberlakukan, TikTok hanya dapat terus beroperasi jika berhasil dijual kepada perusahaan yang tidak memiliki keterkaitan dengan Tiongkok. Namun, hingga saat ini, belum ada prospek penjualan yang jelas. Jika TikTok gagal mematuhi aturan baru, platform tersebut akan dilarang oleh penyedia layanan internet dan toko aplikasi seperti Apple dan Google.