Tuesday, October 8, 2024
BudayaMengenal Tradisi Bobotan dari Indramayu

Mengenal Tradisi Bobotan dari Indramayu

Ads

Indramayu, Reformasi.co.id – Salah satu warisan budaya dari Kabupaten Indramayu, yakni Bobotan, secara resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia.

Pencapaian yang diraih pada 23 Agustus 2024 kemarin ini menjadi momen penting bagi pelestarian tradisi yang hampir punah tersebut.

Upacara Bobotan, yang awalnya dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Indramayu pada tahun 1960-1980, kini jarang dilakukan. Hanya segelintir warga di kecamatan tertentu yang masih menjalankan tradisi ini. Bobotan sendiri memiliki beragam makna.

Dalam bahasa Jawa, “bobotan” berarti berat. Namun, istilah ini juga merujuk pada sebuah kayu bernama “kayu bobotan,” yang dipercaya berasal dari Buyut Babar. Hingga kini, kayu tersebut masih dijaga oleh penduduk lokal atau keluarga yang tersebar di berbagai daerah.

- Advertisement -

Lalu, siapa sebenarnya Buyut Babar? Berdasarkan informasi dari laman resmi Kemendikbudristek RI, Buyut Babar adalah nama yang diberikan kepada dua sosok prajurit, salah satunya adalah Sutra Jiwa, seorang prajurit dari Mataram yang menetap di Desa Pangkalan, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu.

Sutra Jiwa memutuskan tinggal di desa itu setelah kalah dalam perang. Suatu ketika, ia bertemu dengan seorang utusan dari Cirebon yang datang untuk memeriksa perbatasan. Utusan tersebut memiliki ilmu kedigdayaan Macan Siliwangi.

Karena salah paham, Sutra Jiwa dituduh bersekongkol dengan Belanda. Tidak terima atas tuduhan itu, terjadilah perkelahian antara keduanya yang berakhir dengan kematian (babar). Sejak saat itu, kedua tokoh tersebut dikenal sebagai Buyut Babar.

Upacara Bobotan erat kaitannya dengan keturunan. Misalnya, jika seseorang memiliki anak pertama dan bungsu yang berjenis kelamin laki-laki, mereka harus mengadakan upacara Bobotan untuk keselamatan anak-anaknya. Caranya, kedua anak tersebut akan ditimbang dengan kayu bobotan. Agar seimbang, pada sisi lain timbangan ditambahkan benda yang sama beratnya.

Upacara ini juga dilaksanakan jika seseorang memiliki anak tunggal, baik laki-laki maupun perempuan, atau ketika sebuah keluarga yang terdiri dari tiga anak kehilangan anak kedua.

Tujuan utama dari upacara ini adalah untuk memohon keselamatan dan keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa, serta mempererat ikatan kekeluargaan dan menjaga keharmonisan. Selain itu, upacara ini juga dimaksudkan agar anak-anak yang terlibat mendapatkan keselamatan, perlindungan, dan kemuliaan.

Proses upacara dimulai dengan menimbang anak menggunakan kayu bobotan. Berat barang yang ditimbang harus seimbang dengan berat badan sang anak. Jika barang yang ditimbang lebih berat, dipercaya bahwa anak tersebut akan mendapatkan kemuliaan di masa depan.

Barang-barang yang biasanya ditimbang termasuk barang berharga seperti pakaian, emas, perak, uang, atau beras, yang kemudian menjadi harta anak sebagai bekal hidupnya.

Proses penimbangan dipimpin oleh seorang juru timbang. Sambil menimbang, juru timbang melantunkan kidung dengan syair berbahasa daerah. Di saat yang sama, sang anak akan melemparkan uang ke tempat yang telah disediakan, dan uang tersebut menjadi hak juru timbang.

Penghasilan yang diterima juru timbang bervariasi, antara satu hingga lima juta rupiah, tergantung pada kemampuan ekonomi keluarga yang menggelar upacara tersebut.

Ads

Ikuti berita dan informasi terbaru Reformasi.co.id di Google News.

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Terkini