Saturday, September 14, 2024
NasionalBagaimana Jika Kotak Kosong yang Menang di Pilkada 2024?

Bagaimana Jika Kotak Kosong yang Menang di Pilkada 2024?

Jakarta, Reformasi.co.id – Fenomena “kotak kosong” dalam Pilkada 2024 semakin marak dan dianggap sebagai tanda kemunduran demokrasi. Masyarakat dihadapkan pada pilihan yang dianggap “tidak ideal”, sebagaimana diungkapkan oleh para pengamat politik dan lembaga pemantau pemilu.

Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga Sabtu (31/8/2024) kemarin, terdapat 43 daerah dengan pasangan calon tunggal yang berpotensi melawan kotak kosong.

KPU pun memperpanjang masa pendaftaran bakal calon kepala daerah di daerah-daerah tersebut pada 2-4 September 2024 untuk memberikan kesempatan munculnya pasangan calon baru.

Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, menekankan bahwa jika tidak ada partai politik yang mengalihkan dukungannya selama masa perpanjangan, Pilkada kali ini akan menjadi yang paling banyak menampilkan kotak kosong dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Meskipun kotak kosong adalah pilihan yang sah, Khoirunnisa menegaskan bahwa ini bukanlah pilihan yang ideal karena tren “koalisi gemuk” di banyak daerah.

Khoirunnisa menyoroti bahwa tren ini merusak esensi demokrasi. “Kompetisi yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan hilang begitu saja. Calon tunggal sering kali menang hanya karena minimnya pilihan,” ungkapnya pada Minggu (1/9/2024).

Selain itu, pengamat politik dari Universitas Airlangga, Ali Sahab, menyatakan bahwa fenomena kotak kosong ini bisa membuat Pilkada hanya menjadi formalitas bagi masyarakat.

Saat ini, Papua Barat adalah salah satu daerah yang diperkirakan akan menjalani Pilgub dengan melawan kotak kosong. Fenomena ini juga terjadi di level kabupaten/kota di 42 daerah lainnya, seperti di Sumatra Utara dan Jawa Timur.

Pengaruh Koalisi Gemuk dan Pilihan Kotak Kosong

Kotak kosong muncul ketika hanya ada satu pasangan calon yang maju dalam pemilu. Khoirunnisa menjelaskan bahwa kotak kosong pertama kali digunakan dalam Pilkada pada tahun 2015, sebagai hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Saat itu, MK memutuskan bahwa jika hanya ada satu pasangan calon yang terdaftar, pemilih harus diberikan opsi kotak kosong.

Sejak 2015, tren ini terus meningkat. Dari tiga kotak kosong pada 2015, jumlahnya melonjak menjadi 25 pada 2020. Menurut Khoirunnisa, fenomena ini disebabkan oleh mayoritas partai politik yang memutuskan berkoalisi untuk mengusung satu pasangan calon, meninggalkan sedikit atau bahkan tidak ada ruang bagi calon lain untuk maju.

Meskipun putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 seharusnya memberikan peluang bagi partai-partai untuk lebih mandiri dalam mengusung calon tanpa koalisi besar, realitanya, fenomena kotak kosong justru semakin marak. Khoirunnisa menyayangkan bahwa partai politik tampaknya belum siap untuk mengusung calon tanpa koalisi besar.

Dampak Bagi Pemilih dan Demokrasi

Khoirunnisa menyatakan bahwa fenomena kotak kosong ini menempatkan pemilih dalam situasi yang tidak ideal. “Demokrasi seharusnya menyediakan kompetisi yang setara. Ketika hanya ada satu pasangan calon, masyarakat kehilangan kesempatan untuk membandingkan ide atau gagasan dari beberapa calon,” tuturnya.

Ali Sahab menambahkan bahwa kondisi ini berpotensi menghasilkan pemerintahan tanpa oposisi, dengan lembaga legislatif dikuasai oleh koalisi kepala daerah terpilih. Namun, di era digital ini, ia berharap masyarakat dapat menjadi kontrol terakhir terhadap jalannya pemerintahan.

Suara Masyarakat: Antara Kecewa dan Realita

Di Surabaya, yang hanya memiliki satu pasangan calon wali kota dan wakil wali kota, sebagian warga merasa kecewa dengan situasi ini. Bagas, seorang warga Surabaya, mengatakan bahwa demokrasi di kotanya telah gagal.

Ia berencana memilih kotak kosong sebagai bentuk protes. Sementara itu, warga lain seperti Ninda Sahriyani berharap akan ada kandidat baru yang muncul selama masa perpanjangan pendaftaran.

Namun, tidak semua warga merasa kecewa. Oscar Baadilla, yang mendukung pasangan calon tunggal Eri Cahyadi-Armuji, merasa bahwa pasangan tersebut sudah mewakili aspirasinya, meskipun ia tetap berharap ada calon lain yang bisa adu gagasan dan program.

Mengapa Kotak Kosong Menang dan Implikasinya

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyatakan bahwa pasangan calon tunggal bisa dinyatakan menang jika memperoleh suara sah lebih dari 50%. Namun, jika kotak kosong yang menang, pemilihan harus diulang pada tahun berikutnya.

Anggota KPU RI, Idham Holik, menjelaskan bahwa jika kotak kosong menang, daerah tersebut akan dipimpin oleh penjabat sementara hingga pemilihan ulang digelar.

Namun, Khoirunnisa menekankan bahwa tugas penjabat sementara seharusnya hanya untuk mengisi kekosongan sementara, bukan untuk memimpin dalam jangka waktu yang lama.

Apa yang Bisa Dilakukan Masyarakat?

Khoirunnisa menegaskan bahwa memilih kotak kosong adalah hak yang sah dan berbeda dengan golput. Surat suara yang memilih kotak kosong tetap dihitung sebagai suara sah yang akan mempengaruhi hasil pemilu.

Masyarakat juga dapat mengajukan diri sebagai pemantau pemilu terakreditasi ke KPU, yang memungkinkan mereka untuk memiliki kedudukan hukum dalam menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi jika ditemukan indikasi kecurangan.

Hal ini menjadi penting terutama dalam Pilkada dengan calon tunggal, di mana masyarakat dapat menjadi penggugat atas hasil pemilu.

Ikuti berita dan informasi terbaru Reformasi.co.id di Google News.

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Terkini